Jumat, 30 Mei 2014
Tugas Filsafat Pendidikan "Kasus Yang Terjadi Di Bidang Pendidikan"
Tawuran Antar Pelajar Akibat Jiwa Premanisme
Premanisme bukan istilah yang asing lagi. Premanisme yang berasal dari kata “preman” adalah sebutan orang yang cenderung memakai kekerasan fisik dalam menyelesaikan permasalahannya. Kemenangan di ukur karena kekuatan fisiknya bukan intelektualitas. Premanisme bertolak belakang dengan jiwa seorang pelajar, yang dituntut kecerdasan berpikir, kecerdasan mengelola emosi, dll. Jiwa premanisme dalam jiwa pelajar dapat dihilangkan karena dia tidak semerta merta muncul begitu saja, ia disebabkan oleh sesuatu hal. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui faktor penyebab sikap premanisme dalam diri pelajar. Faktor di luar diri pelajar adalah faktor yang kental dapat mempengaruhi ke dalam.
Beberapa contohnya adalah: Tayangan-tayangan di televisi, baik film ataupun liputan berita yang menceritakan atau sengaja mengekspose tema-tema kekerasan dapat mempengaruhi psikis remaja. Kekerasan yang terjadi di rumah. Kekerasan yang dimaksud bukan hanya individu pelajar saja yang menjadi korban kekerasan namun kekerasan yang terjadi pada satu anggota keluarganya, dapat mempengaruhi psikis individu. Hal ini yang akan menyebabkan trauma atau kekerasan beruntun yang diakibatkan karena menganggap kekerasan adalah hal yang wajar. Acara awal tahun, orientasi sekolah adalah acara di mana pelajar baru diwajibkan mengikuti kegiatan ini. Kegiatan yang pada dasarnya adalah untuk memahami dan mengenali sekolah, kegiatan serta untuk lebih kenal kawan-kawannya malah cenderung disalah gunakan oleh senior untuk ajang balas dendam dari apa yang pernah ia terima pada waktu yang sama menjadi junior, pola-pola yang dipakai cenderung dengan pola militer.
Hal inilah yang menyebabkan kekerasan dalam dunia
pendidikan. Pola yang menjadi semacam suntikan yang terus diturunkan oleh
setiap generasi. Agar terhindar dari pola yang berlebihan, diperlukan adanya
pengawasan dari pihak sekolah dan turunnya langsung pengajar dalam kegiatan
ini. Kedisiplinan berbeda dengan kekerasan, hal ini seharusnya menjadi
tantangan setiap panitia kegiatan dalam mengemas ide, gagasan acara pada waktu
perkenalan sekolah, menjadi sesuatu yang inofatif, kreatif sehingga diharapkan
lambat laun sikap premanisme akibat perpeloncoan akan menjadi cara kuno dan
tidak menarik lagi. Dari ketiga faktor penyebab tersebut, kita bisa mendapatkan
bayangan atau solusi yang terbaik seperti apa dan bagaimana melakukan proses
penyelesaiannya. Walaupun permasalahan tawuran antar pelajar memang bukan hal
sepele yang bisa langsung diselesaikan, namun diperlukan adanya proses
berkelanjutan, kesadaran dan kerja sama dengan semua pihak, bukan hanya
sekolah, orangtua, masyarakat dan penegak hukum, tapi juga kesadaran pemahaman
pelajar sebagai seorang individu, sebagai generasi muda yang penuh dengan
tanggung jawab.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari paparan di
atas, yaitu: “Pemahaman” bagaimana seorang pelajar disaat sedang mengalami
pencarian identitas, cenderung sangat mudah labil. Dan kelabilan inilah yang
ahirnya tawuran antar pelajar terjadi.Ada beberapa cara yang efektif untuk
mencegah sebelum tawuran antar pelajar terjadi, misalkan dengan:
Membuat dan memfasilitasi ruang-ruang kegiatan yang positif. Memberikan kebebasan berpendapat dan berekspresi dan tetap adanya kontrol dari pihak-pihak yang berkaitan khususnya orang-orang terdekat, mencoba lebih terbuka dan mengenali serta memberikan solusi yang positif ketika remaja sedang mengalami emosi. Sikap optimis dan kepercayaan terhadap pelajar perlu ditumbuhkan kembali, sehingga suatu saat kita tidak akan mendengar lagi berita atau kabar mengenai kejadian tawuran antar pelajar di negeri kita ini, yang ada kita bangsa Indonesia dipenuhi kabar berita tentang pelajar-pelajar yang produktif, kritis, mampu menjadi juara dalam berbagai bidang, baik berupa kompetisi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Membuat dan memfasilitasi ruang-ruang kegiatan yang positif. Memberikan kebebasan berpendapat dan berekspresi dan tetap adanya kontrol dari pihak-pihak yang berkaitan khususnya orang-orang terdekat, mencoba lebih terbuka dan mengenali serta memberikan solusi yang positif ketika remaja sedang mengalami emosi. Sikap optimis dan kepercayaan terhadap pelajar perlu ditumbuhkan kembali, sehingga suatu saat kita tidak akan mendengar lagi berita atau kabar mengenai kejadian tawuran antar pelajar di negeri kita ini, yang ada kita bangsa Indonesia dipenuhi kabar berita tentang pelajar-pelajar yang produktif, kritis, mampu menjadi juara dalam berbagai bidang, baik berupa kompetisi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Sudah saatnya generasi muda membuktikan potensi dalam dirinya, dan sudah menjadi tugas kewajiban orang tua, sekolah, masyarakat dan pihak-pihak yang terkait untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk penyelewengan pelajar, terutama permasalahan yang membuat was-was menjadi sebuah tindakan kriminal, tawuran antar pelajar. Ada beberapa cara umtuk mengatasi tauran antar pelajar :
1. Menjaga dan menjalin komunikasi antara orang tua anak
dengan baik.
2. Orang tua selalu memantau keberadaan putranya, terutama
setelah jam pelajaran selesai.
3. Memberikan pendidikan disiplin sedari dini.
4. Memberikan pemahaman tentang tawuran dan akibatnya.
5. Bagi orang tua yang sibuk kami menyarankan untuk memilih
sekolah dengan reputasi baik dan berasrama.
SOSIOLOGI PENDIDIKAN "Fungsi Sekolah"
FUNGSI SEKOLAH :
1.
Sekolah
mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan
Maksudnya
disini anak setelah sekolah diharapkan yang telah menyelesaikan sekolahnya
dapat melakukan suatu pekerjaan atau paling tidak sebagai dasar dalam mencari
pekerjaan. Disini anak di tuntun agar dia bisa bersekolah dengan baik dan
bersungguh-sungguh karena sekolah adalah modal utama untuk mencapai pintu
kesuksesan apalagi d zaman eraglobalisasi ini semua orang dianjurkan untuk
sekolah karena sekolah yang menentukan
nasib anak akan bagaimana kelak nanti dia setelah dewasa. Apabila kita meninjau
secara menyeluruh proses perjalanan pendidikan sepanjang masa, maka kita segera
melihat kenyataan bahwa kemajuan dalam pendidikan beriringan dengan
kemajuanekonomi yang secara bersamaan melaju pesat dengan proses evolusi teknik
berproduksi masyarakat. Dalam masyarakat bercorak agraris yang stabil,
pendidikan menyangkut penyampaian keterampilan-keterampilan, keahlian, adat
istiadat serta nilai-nilai. Sementara itu pada sistem ekonomi masyarakat maju,
sistem pendidikan tentunya mempunyai kecenderungan untuk memberikan pengetahuan
dalam jumlah yang terus bertambah kepada kelompok-kelompok manusia dalam jumlah
besar, karena proses-proses produksi yang lebih seksama menghendaki pekerja
memiliki kualifikasi keahlian yang tinggi. Oleh sebab itu, penerapan sistem
sekolah bermaksud untuk memberikan kompetensi-kompetensi jenis keahlian dalam
lahan pekerjaan yang terbentang luas kompleksitasnya. Anak yang menamatkan
sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia
pekerjaan atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi
pendidikan makin besar harapannya memperoleh pekerjaan yang layak dan memiliki
prestise tinggi. Dengan ijasah yang tinggi seseorang dapat memahami dan
menguasai pekerjaan kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya.
Sekolah mengajarkan bagaimanan menjadi seorang yang akan memangku jabatan
tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa tanggung jawab akan tugas, disiplin
mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sekolah juga
mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat dan martabat manusia,
memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan memperhatikan segala bakat yang
dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya.
2.
Sekolah
memberikan keterampilan dasar
Dengan
sekolah anak bisa mengetahui bakat apa yang dimilikinya dan disekolah anak
diajarkan banyak hal tentang apa saja yang menjadi dasar agar anak dapat
berkembang dengan seiring waktu dan perubahan pola pikir anak. sekolah juga
merupakanpondasi yang kokoh apabila di bangun dngan sungguh-sungguh akan
menjadi baik apabila seorang anak bersekolah tanpa ada kesungguhan maka semua
yang dia lakukan itu cuma sis-sia saja. Keteramilan dasar sngat berkaitan
dengan penguatan, penguatan disini adalah respon terhadap suatu tingkah laku
yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali tingkah laku tersebut.
Penguatan diberikan Pemberian penguatan
bersangkutan langsung dengan tujuan yang akan dicapai, hal ini perlu dipahami
guru sebagai antisipasi terhadap masalah yang akan timbul. Memberikan penguatan
sepertinya sederhana, yaitu dengan guru memberikan tanda persetujuan terhadap
tingkah laku siswa yang dinyatakan dalam bentuk penguatan verbal dan nonverbal,
seperti: pujian, senyuman, anggukan atau memberi hadiah
secara material.
Akan tetapi, keterampilan memberi penguatan akan terasa sulit dilakukan apabila
guru sendiri tidak memahami cara dan makna yang ingin dicapai. Penguasaan
keterampilan memberikan penguatan diharapkan dapat menjadi modal bagi guru
untuk mengatasi permasalahan dalam rangka menciptakan suasana nyaman dan
hubungan timbal balik yang harmonis antara guru dan siswa serta mampu mendorong
siswa untuk belajar lebih baik. Hubungan yang harmonis merupakan sumber
inspirasi bagi siswa untuk melakukan peniruan terhadap keteladanan guru sebagai
aktivitas akademik dan suasana yang positif ini akan berpeluang besar dalam
mendorong kegiatan belajar siswa.
3.
Sekolah
membuka kesempatan memperbaiki nasib
Apabila orang bersekolah dan mempunyai kemampuan
dasar untuk melakukan hal-hal apa saja di bidangnya maka disinilah anak dapat
memperbaiki nasib orang tuanya yang dengan susah payah menyekolahkan anaknya
agar agar bisa menjadi lebih baik dibandingkan orang tuanya. Semenjak diterapkannya
sistem persekolahan yang bisa dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan
masyarakat di seluruh penjuru tanah air maka secara otomatis telah mendobrak
tembok ketimpangan sosial masyarakat feodal dan menggantinya dengan bentuk
mobilitas terbuka. Sekolah menjadi tempat yang paling strategis untuk
menyalurkan kebutuhan mobilitas vertikal dalam kerangka stratifikasi sosial
masyarakat. Perubahan ini cukup menyeruak karena di dalam tatanan sosialnya
telah mengalami pergeseran kriteria-kriteria pekerjaan yang secara tidak
langsung mengubah kontruksi susunan masyarakat secara drastis. Bagi orang-orang
yang ingin menapaki karier hidup yang lebih prestisius maka mereka cukup
mendaftarkan diri ke lembaga sekolah dan berproses secara serius sampai pada akhirnya
menerima bukti kelulusan. Bisa dijamin ijasah yang didapat dari sekolah
tersebut lebih diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dari pada
gelar bangsawan yang sudah mulai usang. Melalui pendidikan orang dari golongan
rendah dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Banyak pemuda-pemuda yang
berhasil menapaki jenjang karir hidupnya melalui sekolah meskipun memiliki
latar belakang status yang tergolong rendah. Oleh karena itu orang tua berusaha
menyekolahkan anaknya dengan harapan akan dapat memperoleh hasil yang memuaskan
bagi peningkatan derajat dan status keluarga di kemudian hari.
4.
Sekolah
menyediakan tenaga pembangunan
Dengan sekolah anak
bisa melakukan apa saja yang d inginkannya dengan keahlian yang sudah di
kembangkan pada saat mereka bersekolah. Keahlian tersebut dipakai untuk
membentuk sumber daya manusia yang baik misalya seperti duru, guru itu
memberikan dasar-dasar pengajaran kepada setiap muridnya berguna untuk
membentuk pribadi masing-masing. Bagi negara-negara berkembang, pendidikan
dipandang menjadi alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga produktif guna
menopang proses pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung
oleh keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi negara. Sepanjang
dasawarsa 60-an, dunia pendidikan memiliki andil besar dalam membantu proyek
negara untuk bangkit melakukan pembangunan di segala bidang. Persekolahan di
kala itu, menjadi pusat perhatian dan dambaan para perencana yang mengupayakan
perubahan-perubahan besar, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial, menjadi
pusat perhatian para politisi yang berusaha membangun semangat kebangsaan,
serta menjadi kepentingan warga masyarakat yang berharap menemui peningkatan
kesejahteraan hidupnya. Di awal-awal dasawarsa 60-an ada suatu keyakinan kuat
dari seluruh komponen masyarakat tentang urgensi lembaga pendidikan bagi proses
modernisasi dan industrialisasi. Sistem pendidikan dipandang sebagai penghasil
tenaga-tenaga terampil dan juga pengetahuan baru yang dibutuhkan bagi
perkembangan teknologi dan ekonomi. Sistem pendidikan juga dianggap berandil
besar dalam menanamkan disiplin, sikap dan motivasi sumber daya manusia guna
menopang perkembangan industrialisasi. Dalam hubungan ini, modal manusiawi
dianggap jauh melebihi pentingnya modal-modal fisik apapun juga; bahkan bagi
para ahli ekonomi yang agresif sampai menunjukkan perbedaan signifikansi modal
dalam wujud angka-angka presentase. Mereka-mereka ini memiliki keyakinan kuat
bahwa orang-orang terdidik begitu produktif dalam melaksanakan tugas pekerjaan,
tanggap terhadap tuntutan keterampilan baru, serta mampu menunjukkan loyalitas
yang lebih tinggi terhadap dunia pekerjaannya. Inilah salah satu bukti dari
kiprah pendidikan di Indonesia pada waktu segenap rakyat dan lapisan masyarakat
memiliki hajat besar untuk membangun negaranya.
5.
Sekolah
membantu memecahkan masalah-masalah sosial
Siswa sebagai seorang individu yang
sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu
berkembang ke arah kematangan atau kemandirian mereka selalu melakukan
interaksi sosial. Untuk mencapai kematangan tersebut, siswa memerlukan
bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang
dirinya dan lingkungan sosialnya, juga pengalaman dalam menentukan arah
kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses
perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah.
Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur
linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan siswa tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis
maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan
yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style)
warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan
perilaku siswa, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan,
masalah-masalah pribadi, sosial atau penyimpangan perilaku.
6.
Sekolah
mentransmisi kebudayaan
Fungsi
transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak menurut Vembriarto (1990) dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) transmisi pengetahuan &
keterampilan, dan (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Transmisi
pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika,
pengetahuan alam dan sosial serta penemuan-penemuan teknologi. Dalam masyarakat
industri yang kompleks, fungsi transmisi pengetahuan tersebut sangat penting
sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, membutuhkan
guru-guru dan lembaga yang khusus. Dalam arti sempit transmisi pengetahuan dan
keterampilan itu berbentuk vocational training. Di masyarakat Jawa, ayah
mengajarkan kepada anaknya cara mempergunakan cangkul serta peralatan pertanian
lain secara intensif sampai sang anak memahami teknik-teknik tertentu membudidayakan
tanaman pangan yang sudah ratusan tahun dikembangkan oleh nenek moyang
pendahulunya. Sementara di sekolah teknik, anak belajar bagaimana caranya
memperbaiki mobil. Dalam kategori transmisi pengetahuan dan keterampilan fungsi
dari sekolah modern tidak berbeda jauh dengan penerapan pendidikan tradisional
yang dilakukan oleh bermacam-macam sukubangsa semenjak ratusan tahun silam.
Hanya saja sekolah memiliki perangkat penataan serta organisasi sumber daya
yang lebih sistematis dan terpadu dalam penyelenggaraan pendidikannya. Namun
tak dapat dipungkiri output pendidikan juga menjamin kualitas yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat. Anak masyarakat Jawa belajar menjadi petani yang
baik sesuai dengan tuntutan masyarakatnya sementara di era modern ini sekolah
dapat menghasilkan ratusan tenaga terampil sesuai dengan spesifikasi
keahliannya. Dari segi transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma
masing-masing lembaga dalam konteks karakter sosiokultural juga tidak bisa
dipungkiri peran dan fungsinya. Pemuda-pemuda dari masyarakat Jawa yang masih
tradisional harus mengikuti dengan cermat model-model penggemblengan spiritual
di kala mereka akan menginjak dewasa melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti
padepokan, pondok pesantren dan sejenisnya yang tumbuh subur dalam perjalanan
kebudayaan masyarakat setempat. Wujud keberadaan lembaga tersebut merupakan
bukti tentang kiprah peranan lembaga pendidikan dalam mengupayakan terjaminnya
transformasi nilai-nilai dan norma yang senantiasa dijunjung tinggi. Sementara itu,
dalam masyarakat modern di sekolah, anak tidak hanya mempelajari pengetahuan
dan keterampilan, tetapi juga sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Sebagian
besar sikap dan nilai-nilai itu dipelajari secara informal melalui situasi
formal di kelas dan di sekolah
7.
Sekolah
membentuk manusia yang sosial
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru
belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya, tidak melalui
lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Anak-anak mengamati apa yang
mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau
melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa.
Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang
berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku,
mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang
semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu
semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan
berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai
dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh
generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya.
Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi
kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang
berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat
stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis. Dengan semakin majunya
masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara
kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh
individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan kata lain masyarakat tersebut
telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah
ini mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke
generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu
masyarakat sekolah yang telah melembaga sedemikian kuat, sekolah menjadi sangat
diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru. Dengan
berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak
untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah
mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga
sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga
pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa
pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan
pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan
pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki
kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.
Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu. Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif. Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan. Sekolah mengembang tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus. Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa. Seluruh fungsi-fungsi di atas merupakan peran sekolah dalam mempersiapkan tenaga terampil untuk dipergunakan, meskipun tidak seluruhnya secara langsung, misalnya fungsi sosialisasi atau transmisi. Namun, dengan menambah pengetahuan yang dimiliki melalui sosialisasi atau transmisi tersebut, maka tenaga kerja yang dihasilkan memiliki potensi untuk melakukan hal-hal yang pada umumnya tidak dapat dilakukan oleh tenaga kerja yang tidak mengalami proses tersebut. Itulah sebabnya, penting untuk mengetahui fungsi-fungsi tersebut serta tujuannya masing-masing agar tenaga kerja yang dihasilkan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu. Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif. Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan. Sekolah mengembang tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus. Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa. Seluruh fungsi-fungsi di atas merupakan peran sekolah dalam mempersiapkan tenaga terampil untuk dipergunakan, meskipun tidak seluruhnya secara langsung, misalnya fungsi sosialisasi atau transmisi. Namun, dengan menambah pengetahuan yang dimiliki melalui sosialisasi atau transmisi tersebut, maka tenaga kerja yang dihasilkan memiliki potensi untuk melakukan hal-hal yang pada umumnya tidak dapat dilakukan oleh tenaga kerja yang tidak mengalami proses tersebut. Itulah sebabnya, penting untuk mengetahui fungsi-fungsi tersebut serta tujuannya masing-masing agar tenaga kerja yang dihasilkan sesuai dengan yang dibutuhkan.
8.
Sekolah
merupakan alat mentransformasi kebudayaan
Pendidikan sebagai transformasi budaya di artikan sebagai kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Daoed josoef
memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah
upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang
dimaksudkan disini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan
adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan
sebagai manusia yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap
orang. Menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang
menjadi ciri kehidupan manusia sebagai mahluk bio-sosial . karena itu,
pendidikan harus hadir dan di maknai sebagai pembentukan karakter (character
building) manusia, aktualisasi kedirian yang penuh insan dan pengorbanan atas
nama kehidupan manusia. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang
masih cocok di teruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab
dan lain-lain. Yang kurang cocok di perbaiki, dan yang tiak cocok di ganti.
Contohnya budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari prndidikan
transformatif.
Segala sesuatu yang ada
dalam masyarakat di tentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik
buruknya prilaku atau sikap masyarakat. Juga tergantung pada kebudayaan. Setiap
masyarakat mempunyai kebudayaan yang secara kontinu di taati dan di ajarkan dari
generasi ke generasi selanjutnya. Secara sadar
atau tidak sadar, secara tersetruktur, masyarakat melelui
anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaan. Proses belajar inilah yang
disebut dengan transformasi kebudayaan atau pewarisan budaya. Pendidikan
merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak bisa
di pisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia baik sebagai individu maupun anggota
kelompok masyarakat sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab,
kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentukannya dari segal ilmu pengetahuan
yang di anggap betul – betul vital dan sangat di perlukan dalam
menginterprestasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini di perlukan
sebagai modal dasar untuk dapat beradaptasi dan mempertahankan kelangsungan
hidup. Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang di
hayati ataupun ide yang di yakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan
meyakini, semuanya itu di peroleh melalui proses belajar. Proses belajar
merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasike generasi.
Pewarisan tersebut di kenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses
pembudayaan), Sosialisasi berfungsi untuk:
a.
Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada individu,
b. Menambah kemampuan berkomunikasi dan bercerita.
c.
Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik melalui latihan-latihan mawasdiri.
d. Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
Pelaku pendidikan, khususnya guru, sekalipun dari
latar ilmu eksakta. ia harus memaharni keberadaan budaya setempat di mana ia
bekerja, baik dari aspek pengetahuan maupun dari aspek sikap. Dalam konteks
inilah pentingnya kognisi bagi apresiasi budaya dalam individu seseorang. Da1am
konteks inilah perlunya pemahaman tiga tahap dalam kebudayaan yaitu: tahap
mitis, ontologism, dan fungsional. Tahap ontologis dan fungsional tidak dapat
berkembang tanpa tahap mitis yang sangat membutuhkan kemampuan apresiasi yang
sangat bersifat emosional.
9. Fungsi-fungsi
lainnya
1) Fungsi
Sosialisasi.
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru
belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui
lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri
tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam
aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang
mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau
melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa.
Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang
berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku,
mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang
semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu
semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan
berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai
dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh
generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya.
Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi
kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang
berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat
stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis. Dengan semakin majunya
masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara
kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh
individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat
tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk
berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini
sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi
ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam
suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi
sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural
reproduction). Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut,
upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial
dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di
dalam lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga
keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan
masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan
dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan
pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki
kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional. Sekolah-sekolah menjanjikan
kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga
sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti
pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui
drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata
dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak
dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap
norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana
penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu.
Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
Sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus. Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa.
Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
Sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus. Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa.
2) Fungsi
kontrol sosial
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983, p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
Sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah.
3) Fungsi
pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, sekolah di Sumatera Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional.
Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.
Langganan:
Postingan (Atom)